Friday, November 13, 2009

KHILAFAH


oleh Nurlinawati Yunus (catatan)

Kenabian itu ’mempersiapkan’ Khilafah selama 22 tahun. Maka, tanpa kenabian, berapa lama waktu yang kita perlukan untuk mempersiapkan Khilafah yang semisalnya?

“Akan berlangsung masa nubuwwah pada kalian menurut apa yang dikehendaki Allah, lalu Allah mengangkatnya ketika Ia menghendaki mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung khilafah di atas minhaj nubuwwah menurut kelangsungan yang dikehendaki Allah, lalu Allah
mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung kerajaan yang menggigit menurut kelangsungan yang dikehendaki Allah. Lalu Allah akan mengangkatnya ketika Ia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan berlangsung kerajaan sewenang-wenang menurut kelangsungan yang dikehendaki Allah. Lalu Allah mengangkatnya
ketika Ia menghendaki. Kemudian akan berlangsung khilafah di atas minhaj Nubuwwah. Lalu beliau diam.“ (HR Ahmad)

Nubuwwah berlangsung selama 22 tahun lebih. Lalu tentang khilafah, diriwayatkan bahwa Ummu Aiman Radhiyallahu ’Anha, wanita yang mengasuh Rasulullah dan ibu dari pahlawan belia Usamah ibn Zaid itu, berkisah bahwa dia telah mendengar Rasulullah bersabda bahwa Khilafah berlangsung selama tigapuluh tahun. ”Semula kukira hanya sampai masa ’Umar”, demikian Ummu Aiman suatu hari berkata, ”Ternyata kuhitung lagi dan dia sampai pada akhir hayat ’Ali.”

Nah, itulah mengapa para ’ulama Ahlus Sunnah lalu sepakat, khilafah rasyidah ada pada keempat shahabat utama tersebut. Lalu Mu’awiyah adalah sebaik-baik raja, yang memerintah dengan menggigit sunnah sekuat-kuatnya. Dan seterusnya.

Nubuat Nabi tentang kembalinya Khilafah setelah fase-fase berat yang dilalui ummat, adalah bara yang terus menyala di dada para pejuang Islam dan kader dakwah. Harapan besar itu seperti yang saya pelajari di matakuliah Komputasi Dasar dan Komputasi Numeris; y=f(x). Kita tahu x, kita tahu inputnya, kita tahu kondisi awalnya. Kita tahu y, kita tahu outputnya, kita tahu hasil akhirnya. Yang kita cari dan coba temukan adalah f-nya, fungsi yang mengantarkan x pada y. Mungkin dengan trial dan error, tapi dalam kasus Khilafah kita punya model yang mungkin lebih sederhana namun tetap relevan: Sirah Nabawiyah.

Secara nakal, saya akan menyebut bahwa di masa Rasulullah, inputnya tentu kondisi masyarakat di masa jahiliah. Jika kita pandang wafatnya Rasulullah, sempurnanya turun wahyu, dan dengan kata lain dimulainya khilafah Abu Bakr sebagai outputnya, maka kita tahu apa fungsi yang mengantarkannya; kenabian. Kini pun sama. Inputnya ya kondisi kita
sekarang, outputnya juga khilafah lagi. Prosesnya? Tentu bukan kenabian, tapi alurnya harus mirip; dakwah yang sesuai sunnah dalam panduan Sirah Nabawiyah. Apa itu? Dengan sangat menyederhanakan saya ambil rasam Ustadz Mohammad Fauzil ’Adhim tentang kepemimpinan Rasulullah sebagai ringkasan fungsi besar itu:

1.Makkah Awal: Motivasi
Ayat-ayat yang turun pada fase ini adalah motivasi amal yang luar biasa. Gambaran surga dan neraka ditampakkan dengan abstraksi yang sangat rendah dan mudah ditangkap akal. Maka pada tahap ini semua sahabat beramal dan bekerja. Dan uniknya, kerja-kerja itu kebanyakan
kerja sosial yang bahkan disebut eksplisit dalam wahyu: menyantuni fakir, memelihara yatim, membebaskan budak, menyambung kerabat, dan lainnya. Pembangunan kredibilitas sistem dan personal telah dimulai.

2.Makkah Akhir: Edukasi
Pada fase inilah, tarbiyah dintenskan. Halaqah di rumah Al Arqam dibawa keluar untuk bertemu dengan realita. Kader-kader dakwah terdidik bukan hanya dengan pembacaan wahyu, tapi juga dengan tazkiyah, dan pengajaran berbagai hikmah yang mereka dapati dari pertentangan antara Al Haq dan Al Bathil.

3.Hijrah: Instruksi
Ada ketaatan yang diuji, ada kedisiplinan dan keteraturan shaff yang bisa dievaluasi. Hijrah adalah pengujian untuk soliditas barisan dan mulai saat ini institusi komando mulai ditegakkan sebagai pilar awal daulah yang sebenarnya.

4.Madinah Awal: Diskusi
Di sini dimulai babak baru. Dakwah tanpa kuasa memang tak kenal kompromi. Tapi pada satu titik memulai penegakan institusi, kekokohan internal difokuskan dan ancaman eksternal sementara direduksi dengan diskusi. Maka lahirlah piagam Madinah, traktat perjanjian damai, bahkan syuraa untuk menggelar perang yang menghadirkan tokoh besar munafiq.

5.Madinah Akhir: Inspirasi
Pada titik inilah Rasulullah dan para shahabat adalah inspirasi. Mungkin ada orang-orang berkompeten di luar sana yang lalu menerima hidayah karena objektif menilai perjuangan beliau. Maka Makkah pun menyerahkan jantung hatinya; Khalid, panglima terhebat, ’Amr ibn Al ’Ash diplomat lihai, dan ’Utsman ibn Thalhah, tokoh strategis pemegang kunci Ka’bah. Bersipalah untuk itu.

Nah, bisakah dikatakan bahwa kerja menuju Khilafah hanyalah kerja politik? Saya kira, lebih tepat disebut kerja dakwah. Maka, terperangah saya ketika membaca satu bagian artikel di situs www.hayatulislam. net di bawah judul Apakah Khilafah Itu? Ada tertulis, ”Jadi,mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan -seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya-, atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi, dan sebagainya. Memang, semua itu adalah amal shalih, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan
sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.”

Sebenarnya, saya salut bahwa kini dalam dataran amal mulai ada kerja-kerja sosial, sudah ada Tabanni Mashalih, tapi jika secara konseptual begitu, yang kita tawarkan terlalu simplistis dan mengejek pada ummat yang akan memberikan kepercayaan pada sebuah Daulah Khilafah. ”Kalau anda tak berlatih dan tak terlatih mengurus hal-hal publik untuk kami, kelak dalam kekuasaan anda, siapa yang akan mengurusnya? Apa kita akan mengulang kesalahan sejarah dengan menyerahkannya pada orang-orang Majusi seperti beberapa masa Khilafah
’Abbasiyah dan orang-orang Yahudi pada masa Khilafah ’Umayyah di Andalusia? Tidak. Itu terlalu mengerikan!”

Berdebat tanpa amal sungguh saya benci. Tetapi saya berharap slogan itu diganti. ”Khilafah is the Only Solution”, tidaklah menggambarkan cita perjuangan peradaban Islam. Bagi ummat ini, khilafah adalah sistem terbaik, cara –bukan solusi, apalagi tujuan- untuk merumuskan dan
menjalankan solusi-solusi besar bagi permasalahan ummat, bahkan dunia. Maka khilafah bukanlah sesuatu yang instan menyelesaikan persoalan. Tak ada serta merta di sini. Kerja-kerja itu harus dimulai sejak sekarang. Tak hanya menyiapkan perangkat sistem tapi juga sumberdaya pengelolanya. Seorang muslim yang mu’min lagi muttaqin. Seorang
profesional yang muhsin, seorang shalih yang mushlih.

Nah, jika saya ringkas, agaknya sikap kita terhadap Khilafah ada dalam empat poin berikut ini.

1.Khilafah itu adalah satu keniscayaan Nubuwat, realistis dan bukan utopia.

2.Khilafah itu memerlukan sebab, maka kewajiban kita adalah berpartisipasi dalam mengikhtiyarkan sebabnya, bukan menunggu berpangku tangan.

3.Khilafah itu bukan ’solusi jadi’ atas permasalahan ummat, tetapi alat yang dipakai untuk merumuskan dan menjalankan solusi, maka dia membutuhkan banyak sekali perangkat.

4.Sumberdaya yang akan mengelola perangkat-perangkat dalam Khilafah haruslah:

a.Kapabel dan kredibel. Maka dibutuhkan tarbiyah yang membuat mereka tumbuh, berkembang, berdaya, terjaga, dan tertokohkan.

b.Kompeten. Maka dibutuhkan banyak kader dakwah yang terdidik ahli, spesialis berwawasan luas untuk mengisi kualifikasi di berbagai bidang pelayanan ummat.

c.Profesional dan Well-trained. Maka dibutuhkan banyak eksperimen, latihan, dan pembelajaran yang diperoleh melalui pengelolaan publik dalam organisasi dakwah, lembaga pelayanan, dan terlebih lagi institusi pemerintahan daerah maupun pusat.

d.Terorganisasi. Maka dibutuhkan satu ’amal jama’i yang menopang segala aktivitas persiapan menuju Khilafah.

Begitulah. Hingga nantinya, kata Hasan Al Banna, kita menyelesaikan tahap tugas Ustadziyatul ’Alaam. Khilafah itu bukan berdiri angkuh atau berteriak nyaring di atas tahta dan mahkota, tetapi bekerja keras melayani dunia dan tersenyum ramah menjadi teladan semesta. Hingga nantinya ada satu titik di mana manusia tak bisa lagi membedakan pesona kebenaran Islam dengan pesona keagungan seorang muslim. Itulah kemenangan, dan Allah tempat memohon pertolongan.

sumber :
SALIM A. FILLAH
-Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, BAB VI

0 comments:

Post a Comment

 

ShoutMix chat widget

Followers

SEMUA ADA DISINI Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts