Saturday, November 14, 2009
SCRIMMAGE : MENUNGGU GOL SPEKTAKULER
KAPOLRI Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri keberatan bila pertikaian personal orang Mabes Polri dan KPK, yang kemudian didesain seolah-olah pertarungan antar-institusi itu, disebut “cicak vs buaya”. Untuk menghormati beliau, mulai sekarang kita pakai “logika Tukul Arwana”, sehingga menjadi pertarungan “bukan cicak vs bukan buaya”.
Pada babak pertama, pertarungan “bukan cicak vs bukan buaya” ini dimenangi KPK akibat (Kabareskrim Mabes) Polri bikin “gol bunuh diri” dengan menjebloskan Bibit-Chandra ke penjara.
Pertandingan memasuki babak kedua. Penonton sorak-sorai ketika bola digiring ke Mahkamah Konstitusi. Anggodo muncul sebagai bintang lapangan. Tapi dikartu-merah wasit karena menangkap bola. Anggodo mengira ini permainan gabungan sepakbola dan bola basket. Polri pun kehilangan satu pemain karena Anggodo diusir wasit.
Tanpa Anggodo, karuan saja Polri makin keteteran. Serangan balik yang gagal ke KPK berakibat fatal. KPK kembali menguasai bola ke kotak penalti. Kini terjadi kemelut (scrimmage) depan gawang Polri. Sejumlah pemain menumpuk di sana. Ada TPF pimpinan Adnan Buyung Nasution yang setiap saat bisa mundur. Ada Ketua MK Mahfud MD yang diancam somasi, ada Kejaksaan, juga Presiden Yudhoyono dengan inisial GM, ganyang mafia (hukum). Kalau GM-nya Bung Karno dulu kan “Ganyang Malaysia”.
Para pendukung KPK sempat ternganga ketika Polri memasukan pemain baru Komisi III DPR. Tapi semua orang tahu, juga para wasit, DPR itu seperti Diego Simeone dari Argentina atau Christiano Ronaldo asal Portugal, jago diving, pura-pura jatuh sehingga dapat hadiah penalti. Duet Polri-DPR pun akhirnya mandul.
“Dua lembaga (Polri dan DPR) yang sedang berada di puncak ketidak-percayaan rakyat, distrust kok bikin forum membahas tata-hukum dan kebenaran, ya jadi bahan tertawaan rakyat..,” kata penulis rubrik ini di facebook yang disebarluaskan via SMS oleh beberapa teman.
Polri, tepatnya para petinggi Polri, tampaknya lupa bahwa masyakat sedang jatuh cinta pada KPK. Maka sebagaimana kita sedang jatuh cinta, apa pun orang bilang, dengan bukti paling nyata sekalipun, tak akan bisa mengubah sikap kita. Malah makin getol meyakinkan kita akan keburukan orang yang kita cintai, makin kita curiga. Ada apa di balik semua ini? Jangan-jangan cemburu...!
Karena sejak awal sudah tampak sebagai rekayasa, upaya mengkriminalisasikan pimpinan KPK, yang selalu dibantah Kapolri dan jajarannya, dibantu Presiden, maka makin keukeuh Polri mengaku punya bukti kuat yang akan dibawa ke pengadilan, justru membuat masyarakat makin keukeuh juga akan adanya rekayasa yang canggih itu.
Usman Yasin, pengelola “Gerakan Sejuta Facebookers Mendukung KPK Bibit-Chandra”, mengamini pandangan ini. “Memang, setelah para petinggi Polri mengadu ke Komisi III DPR, terjadi percepatan penambahan pendukung KPK,” katanya pada penulis.
Artinya, apa pun yang terjadi, bisa dibuktikan atau tidak tuduhan terhadap Bibit-Chandra, pertarungan “bukan cicak vs bukan buaya” ini, secara moral dimenangi oleh “si bukan cicak”. Dan “si bukan buaya” berdarah-darah.
Pendukung KPK pun pulang dengan hati senang. Beberapa di antarnya menenteng pertanyaan: “Apa yang membuat para jenderal polisi itu mempertaruhkan kehormatannya, dan mengorbankan institusi tempat ratusan ribu penegak hukum mengabdi kepada negara dan bangsa?
Sebandingkah harga Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah dengan yang mereka pertaruhkan dan korbankan?
Banyak orang yakin, pasti bukan buat Anggodo, juga bukan buat Anggoro yang kini buron. Buat Skandal Bank Century? Hanya mereka dan kita yang tahu. •
Sumber: Adhie M Massardi,INDONESIA MONITOR, EDISI 71 • 11 – 17 NOVEMBER 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment