Sunday, November 15, 2009
Tata Ruang Kota: Dimensi Yang Terlupa
PBB atau United Nations memprediksi, pada tahun 2015 akan terdapat kurang lebih 358 ribu kota (besar dan kecil) di seluruh dunia, 153 ribu di antaranya berada di benua Asia. Dari ratusan ribu kota tersebut, 27 di antaranya adalah mega-cities atau megapolitan, dan 18 megapolitan di antaranya ada di Asia. Satu di antara megapolitan itu adalah Jakarta.
Jakarta memang sudah sejak akhir tahun 1980-an berkembang menjadi megapolitan, dengan wilayah ekspansi mencakup Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Bahkan dapat dibilang kini ekspansinya sudah meluas lagi mencapai Karawang ke arah timur, Sukabumi ke arah selatan, dan provinsi Banten ke arah barat. Bahkan ke arah utara yang merupakan lautan pun tak kurang terambah pula, dengan menguruk sebagian Laut Jawa menjadi daratan baru, lalu disulap menjadi kawasan bisnis dan pemukiman eksklusif.
Berbagai kajian atau pendekatan perencanaan tata ruang kota Jakarta selama ini selalu mengintegrasikan wilayah penyangga yang sudah disebut di atas, ditambah kawasan Puncak dan Cianjur. Dua wilayah ini disertakan karena merupakan area kunci dan penting yang menentukan berhasil atau gagalnya penataan ruang di Jakarta, terutama ketersediaan air dan pengelolaan bencana banjir.
Jakarta, dalam perjalanannya selama 3 dekade terakhir melebar secara horizontal dengan dramatis, meskipun 3 tahun belakangan gerakan ke arah vertikal juga tak kalah pesat, terutama di tengah kota. Namun, perkembangan kota ke arah vertikal ini masih belum teruji dengan valid, mengingat tren hidup di tengah kota masih belum menjadi kultur baru warga kota pada umumnya.
Dari sisi konsumsi energi, kota yang mekar secara horizontal seperti Jakarta akan memerlukan energi yang lebih besar untuk menghidupi penduduknya, baik untuk keperluan listrik, transportasi, pendidikan, penyediaan makanan, sampai dengan penyediaan fasilitas hiburan. Sementara kota-kota yang sudah “matang” di Amerika, Eropa, atau Australia seperti Houston, Detroit, Los Angeles, San Francisco, Washington, New York, Toronto, Perth, Sydney, Paris, London, Hamburg, Brussel, memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dalam hal penggunaan lahan dan konsumsi energi per penduduk per tahun karena pemekaran kota dilakukan secara vertikal.
Dimensi Penataan Kota
Menurut arsitek M. Ridwan Kamil, perencanaan kota memerlukan tiga dimensi penting yakni Economy, Ecology, dan Social Equality. Apabila didetailkan lebih lanjut, indikator untuk menilai baik buruknya perencanaan kota meliputi penggunaan/penataan lahan yang tepat, efisiensi energi, penggunaan air dan pengelolaan drainase, kualitas udara yang sehat, pengelolaan transportasi yang tertata, penyediaan ruang terbuka hijau, yang semuanya dilandasi dengan peraturan/kebijakan yang konsisten.
Dari sisi kebijakan, undang-undang, peraturan pemerintah, dan aneka peraturan daerah, yang masih menjadi pertanyaan besar adalah sisi penegakan dan konsistensi pelaksanaannya di lapangan. Masih banyak pengembang yang melanggar peruntukan tataguna lahan di tengah kota, mengubah ruang terbuka hijau menjadi bangunan tertutup, mengubah situ/danau menjadi kawasan komersial. Peraturan dan pengelolaan kependudukan terlihat carut marut dan compang-camping, sementara kewajiban membuat sumur resapan pada setiap hunian di kota juga tak berjalan efektif. Banyak bangunan cagar budaya dihancurkan untuk kepentingan bisnis. Singkat kata, kota ini seolah-olah berjalan tanpa arah, tanpa aturan.
Padahal, arah atau visi adalah mutlak dalam membangun sebuah kota yang beradab. Marco Kusumawijaya, arsitek sekaligus intelektual yang banyak bergelut dengan masalah perkotaan, mengungkapkan, visi tentang kota di masa depan ini tak terkira pentingnya, karena akan memandu kota bergerak ke arah depan, termasuk di dalamnya menyelesaikan masalah-masalah yang muncul sekarang. “Untuk menyelesaikan masalah banjir, kita memerlukan visi tentang pengelolaan air secara komprehensif untuk 100 tahun ke depan,” tulis Marco di Majalah Tempo, 22-29 Juni 2009. Sementara keruwetan lalu lintas sekarang ini dapat dipecahkan dengan membuat kebijakan transportasi yang dapat menjawab kebutuhan hingga akhir abad ini.
Manusia Sebagai Subjek Penataan Kota
Entitas atau aset sebuah kota terdiri atas banyak hal, mulai dari manusia, sumber daya alamnya, lingkungannya, juga sosial, kebudayaan, teknologi, intelektualitasnya. Namun dari sekian banyak aset, manusia dan interaksi antarmanusianya merupakan subjek terpenting dalam perencanaan ruang atau perencanaan kota. Kota bukanlah sebuah ruang statis melainkan organik yang hidup justru karena adanya interaksi antarmanusia di dalamnya. Interaksi antarwarga ini memerlukan syarat yakni tersedianya ruang untuk saling melakukan transaksi sosial dan ekonomi.
Dari situlah kemudian paradoks tentang Jakarta sebagai sebuah kota mulai tampak terendus. Bila manusia merupakan aset atau subjek terpenting dalam suatu peradaban kota, di Jakarta, manusia justru menjadi problem terbesar akibat ledakan urbanisasi yang tidak terkendali, yang kemudian melahirkan aneka persoalan lain yang tak kalah pelik untuk ditangani. Bilamana ruang untuk melahirkan suatu transaksi sosial dan ekonomi antarwarga menjadi keharusan, di Jakarta, ruang-ruang tersebut tercerabut secara paksa karena pelbagai alasan. Yang terjadi adalah ruang-ruang transaksi privat yang tidak melibatkan banyak warga, dan kebanyakan transaksi selalu bermotif ekonomi, sehingga solidaritas sosial dan toleransi antarwarga berkembang menjadi sedemikian buruk. Bila tolok ukur pembangunan fisik dijadikan patokan, setiap tahun puluhan mal dan gedung dibangun, pusat perbelanjaan didirikan, triliunan rupiah dibelanjakan, tetapi kesejahteraan masyarakat justru menurun seiring dengan berjalannya waktu dan bertumbuhnya gedung-gedung.
Pesimisme
Di tengah remuk redamnya tatanan sosial dan tata ruang Jakarta seperti itu, masih adakah harapan untuk membuat wajah kota ini menarik untuk ditinggali? Masih adakah kesempatan untuk mengoreksi kekeliruan yang sudah tertimbun berpuluh-puluh tahun?
Banyak pihak yang pesimis bahwa penataan ulang ruang di Jakarta dapat mengembalikan kota ini menjadi normal dan manusiawi. Faktor-faktor yang membuat pesimisme itu menyeruak adalah buruknya mentalitas birokrasi yang memegang otoritas dalam penataan ruang, inkonsistensi kebijakan dan keputusan dalam pengelolaan ruang di Jakarta, biaya yang terlalu besar untuk merestorasi tata ruang Jakarta, terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk merestorasi ulang problem tata ruang, dan perilaku warganya yang semakin egois dan individualis.
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk kota Jakarta sebenarnya sudah harus diperbaharui lagi setelah 2010. Pembaharuan memerlukan perubahan paradigma dan pendekatan yang revolusioner untuk dapat mengembalikan Jakarta menjadi lebih manusiawi dan layak huni. Beban Jakarta sudah terlalu berat sebagai kota dengan segala macam fungsi dan atribut, sehingga diperlukan keberanian dan cara berpikir out of the box supaya ia bisa keluar dari ancaman “kiamat kecil” dalam bentuk banjir, polusi udara, kemacetan, dan kriminalitas.
Presiden Soekarno pada tahun 1953 secara visioner sudah melihat bahwa ke depan Jakarta tidak akan mampu menanggung beban sebagai ibukota negara, pusat kegiatan ekonomi dan sosial, sentrum aktivitas politik dan kebudayaan, dan jantung dari segala aktivitas manusia. Karenanya ia mengusulkan dipindahkannya ibukota/pusat pemerintahan negara ke Kalimantan Tengah, di kota Palangkaraya.
Pemerintahan Soeharto pun pada pertengahan tahun 1990-an sempat memunculkan wacana relokasi pusat pemerintahan ini ke wilayah Jonggol, Jawa Barat. Meskipun secara visi gagasan memindahkan pusat pemerintahan keluar kota Jakarta tidaklah sebrilian ide Soekarno, namun kemunculan gagasan itu sendiri pada waktu itu semestinya perlu mendapat apresiasi mengingat ide relokasi ini ternyata adalah ide yang berkesinambungan dari dua pemerintahan awal republik ini. Gagasan pemindahan pusat pemerintahan itu sendiri pada akhirnya terkubur dalam-dalam setelah era reformasi dan tidak terdengar lagi hingga sekarang.
Tiga Masalah Besar
Penataan ruang di Jakarta menghadapi tiga masalah pelik yang tidak dapat tertangani secara sektoral mengandalkan pendekatan parsial semata-mata. Masalah pertama adalah ekspansi kapital yang masif dan menumpuk hanya pada wilayah administrasi DKI Jakarta saja. Lebih parah lagi, ekspansi kapital tersebut tidak memikirkan daya dukung infrastruktur lainnya seperti transportasi, ketersediaan air, penanganan polusi udara, dan penyediaan hunian yang layak untuk warganya.
Berdasarkan risest Procon Indah, perusahaan konsultan properti terkemuka, pada tahun 2010 diperkirakan akan dibangun 13 pusat perbelanjaan/keramaian baru. Dari 13 lokasi pusat keramaian tersebut, 40% ada di wilayah Jakarta Utara, 20% di Jakarta Selatan, 18 di Jakarta Pusat, dan sisanya di Jakarta Barat dan Timur. Dengan penambahan pusat perbelanjaan itu, luas pusat perbelanjaan di Jakarta akan mencapai 3,33 juta meter persegi.
Kehadiran pusat perbelanjaan baru ini akan semakin menyeret Jakarta jauh dari ketentuan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mensyaratkan bahwa 30% dari wilayah DKI Jakarta harus dialokasikan sebagai ruang terbuka/ruang publik. Dengan luas pusat perbelanjaan sebesar 3,33 juta meter persegi, artinya setiap dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta, setiap 3 warga akan mendapatkan 1 meter persegi “ruang di pusat perbelanjaan”, bukan di ruang terbuka. Dibandingkan dengan luas wilayah DKI jakarta yang hanya 740,28 km persegi, seharusnya area yang dialokasikan untuk ruang terbuka mencapai 246,76 km persegi. Saat ini persentese ruang terbuka hijau tidak lebih dari 10% atau kurang dari 74 km persegi.
Masalah kedua adalah buruknya sistem transportasi umum. Mobilitas kurang lebih 10 hingga 12 juta warga Jakarta dan sekitarnya setiap hari kerja memunculkan persoalan serius, baik dari sisi keselamatan, keamanan, dan kenyamanan warga. Kantor berita Antara melansir, kerugian yang ditimbulkan akibat sistem transportasi yang buruk dan kemacetan mencapai Rp. 28,1 triliun per tahun. Berikut ini rincian kerugian yang diakibatkan oleh kemacetan di Jakarta.
Upaya untuk membenahi sektor transportasi dan lalu lintas di Jakarta tidak pernah menyentuh akar persoalan dan didekati komprehensif, sehingga dari waktu ke waktu kemacetan justru menjadi semakin parah. Pada jam sibuk, kendaraan bergerak rata-rata di bawah 15 km/jam karena beban jalanan yang tidak lagi dapat menampung volume kendaraan yang melintas. Penambahan jalan baru tidak sebanding dengan peningkatan jumlah kendaraan.
Sementara penggunaan kendaraan pribadi pun tidak terhindarkan lagi mengingat layanan transportasi umum yang tersedia sangatlah buruk, tak memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga, apalagi menjadikannya sebagai pilihan utama mobilitas. Mereka umumnya menggunakan angkutan umum sebagai alternatif terakhir. Dalam kondisi seperti itu, ketertiban berlalu lintas juga terus memburuk dari tahun ke tahun akibat sikap individualistik dan egoistik dari sebagian pengguna jalan.
Pelbagai solusi pernah dicobakan untuk mengurai kemacetan di Jakarta, mulai dari lintasan khusus bus kota, subsidi BBM untuk angkutan umum, penerapan jalur 3 in 1 di beberapa jalan protokol, sampai dengan moda transportasi Transjakarta yang dibuat jalur khusus. Beberapa alternatif gagasan pernah juga dimunculkan, seperti penerapan tarif khusus (electronic road pricing) di beberapa ruas jalan, penggunaan nomor ganjil dan genap untuk kendaraan bermotor, pembatasan kendaraan roda dua di beberapa ruas jalan, namun semuanya tidak pernah menyentuh akar persoalan. Pemerintah DKI Jakarta juga pernah berencana membangun sistem transportasi monorail, tetapi nasibnya malah lebih mengenaskan lantaran layu sebelum berkembang.
Masalah ketiga yang juga tak kalah pelik adalah pengelolaan air untuk warga, termasuk di dalamnya pengendalian banjir. Jakarta telah menjadi seperti raksasa yang lumpuh setelah diterjang banjir hebat pada tahun 2002. Sejak saat itu, seluruh sistem saluran air dan drainase seolah-olah tidak lagi mampu memecahkan hujan yang datang hanya dalam hitungan 1-2 jam saja. Begitu hujan tiba, kemacetan langsung menyergap, air menggenang di beberapa kawasan, baik jalanan maupun pemukiman. Bandara dengan mudah lumpuh akibat dikepung hujan sesaat, dan semua kegiatan warga kota nyaris berhenti total karena disibukkan dengan urusan air tak diundang ini.
Repotnya, dalam urusan banjir yang multidimensi ini, menuding pihak lain adalah cara pintas yang sering ditempuh, karena dengan menimpakan persoalan kepada pihak lain, seolah-olah pihak yang bertanggung jawab tadi sudah menyelesaikan tanggung jawabnya.
Integratif
Dari seluruh masalah yang terpapar di atas, muncul pertanyaan besar, mengapa tidak dengan segera melakukan pendekatan yang integratif dan struktural dalam mengatasi problem kota Jakarta ini? Pemerintah pusat membebankan persoalannya kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta. Pemerintah provinsi menuding provinsi atau kabupaten lain yang menyumbang persoalan terbesar di Jakarta. Pemerintah provinsi atau kabupaten/kota di sekeliling Jakarta juga cuci tangan karena menganggap persoalan ini bukan persoalan mereka. Dan pada akhirnya, wargalah yang paling banyak menderita kerugian.
Kondisi tata ruang Jakarta sesungguhnya sudah masuk tahap gawat darurat. Menggunakan pendekatan tata ruang dan wilayah yang tidak dapat menerobos kendala administrasi dan struktural hanya akan membuat Jakarta akan hancur dalam hitungan waktu singkat.
Masalah penataan ruang di Jakarta pertama-tama adalah urusan pemerintah pusat, karena bagaimanapun juga Jakarta adalah wajah depan dari negeri ini, indikator dari segala macam urusan dan potret utama tentang Indonesia. Seharusnya, pemerintah pusat berani keluar dari cara berpikir lama dengan membuat suatu otoritas terpusat yang memungkinkannya mengatasi ego kewilayahan, kendala birokrasi antardepartemen, dan mencari solusi yang sifatnya menyeluruh.
Dimensi integratif inilah yang belum pernah dicobakan dan barangkali hanya itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Jakarta, dan dengan demikian menyelamatkan negeri ini dari kerusakan yang lebih parah. Menyelamatkan manusia-manusia sebagai subjek dalam penataan ruang dan mengembalikannya sebagai warga kota yang memiliki martabat, bertoleransi, dan berbudaya.
Sumber: Sriwijaya Post - Jumat, 6 November 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment