Friday, November 6, 2009

KRISIS RESESI EKONOMI GLOBAL, INFLASI DAN PENGARUH TERHADAP PETANI SAWIT


Bagian Pertama
Krisis Ekonomi Politik Dilihat Dari Angka Inflasi
Rakyat Indonesia hingga hari ini selalu saja mendapat terpaan badai penderitaan. Ditengah semakin tingginya angka penggaguran,PHK masal dikalangan kelas buruh, pengusuran besar-besaran kaum pedagang kecil perkotaan atas nama keindahan kota, kemiskinan dipedesaan karena semakin hilangnya alat produksi dan ketersediaan alam yang semakin hari semakin menyempit. Hal tersebut sudah lama diderita rakyat Indonesia tanpa pernah berhenti, serangan sebelumnya adalah kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat yang ditandai dengan kenaikan BBM dunia yang mempengaruhi dan memaksa pemerintah Indonesia harus merupah APBN –P yang berimplikasi terhadap kenaikan harga BBM dalam negeri yang memicu semua harga kebutuhan pokok rakyat turut meningkat. Pukulan yang terbaru adalah krisis ekonomi global yang ditandai dengan krisis kredit perumahan (subprime mortgage) mempengaruhi ekonomi di Amerika yang merupakan sentrum perekomomian dunia menghantam semua sendi ekonomi dunia dan mendorong terjadinya inflasi diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia juga tidak terlepas dari terpaan badai ini.
Apabila dilihat indikator permukaan makro ekonomi sebelum krisis global terjadi, laporan BPS menyatakan bahwa angka inflasi bulan september berada pada kisaran 0,51 persen, sedangkan untuk laju inflasi tahun kalender dari
Kondisi ini mengisyaratkan target pencapaian inflasi yang disepakti oleh pemerintah dan BI yaitu target inflasi Januari-September 2008 sebesar 10,47%, sementara year on year sebesar 12,14 persen. Angka ini merupakan laju inflasi paling tinggi pada 3 tahun terakhir. Hal tersebut dipicu karena kenaikan harga-harga bahan pokok termasuk sewa perumahan. BPS mencatat beberapa komoditas yang mengalami kenaikkan harga antara lain adalah bahan bakar rumah tangga, ikan segar, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam ras, ikan diawetkan, tempe, beras, nasi dengan lauk dan banyak lagi termasuk minyak goreng.pada tahun 2008 sebesar 5 persen dengan deviasi satu persen dengan cacatan bahwa potensi inflasi sangat tinggi sehingga bersama DPR mereka menyepakati angka 6,4 persen sebagai angka inflasinya sangat sulit dicapai.
Inflasi merupakan potret peristiwa moneter yang menggambarkan kenaikan harga barang, Dimana dalam hukum ekonomi tergambar posisi suplay dan demand (persedian dan penawaran) yang selalu terjadi dalam sistem pasar. Inflasi dapat diakibatkan oleh dua hal yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya produksi. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment. Yang kedua adalah Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Kenaikan inflasi ini semakin menjelaskan ketimpangan ekonomi nasional yang gagal mengurus penataan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan pokok nasional dan semakin tingginya ketergantungan pada barang komoditas impor, khususnya komoditas pangan internasional, disisi lain strategi eksport yang dianut pemerintah tanpa berusaha memenuhi industri dan kebutuhan dalam negeri menyebabkan penderitaan rakyat semakin nyata.
Seharusnya Inflasi harus menjadi perhatian utama karena merupakan potret yang terjadi ditengah masyarakat. Semakin tinggi laju inflasi, maka semakin rendah kesejahteraan masyarakat karena nilai setiap sen uang yang dipegang orang terus menurun. Akibatnya daya beli melorot. Jadi, jika ekonomi dunia meradang, orang miskin Indonesia pun bisa jadi semakin miskin.

Krisis Global Dan Pengaruh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang tidak bisa dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang kian memburuk seiring dengan krisis umum imprealisme : kelesuan ekonomi Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage); krisis finansial, krisis energi [minyak, gas, batubara], ditandai dengan kenaikan harga minyak di pasaran internasional yang telah menembus 117 US $/barel, namun terkoreksi pada angka 82 US $ / barel pada bulan oktober 2008 akibat permintaan terhadap minyak dunia menurun impas dari krisis yang terjadi di Amerika. Walaupun demikian harga minyak dunia yang sempat melambung memaksa berbagai sektor produksi ekonomi menaikkan ongkos produksinya dan tidak ikut terkoreksi hingga hari ini. Sedangkan disisi lain imbas dari pemanasan global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan cuaca buruk, gelombang badai, banjir, longsor, telah memukul hampir semua produksi pertanian dan kelancaran sistem transportasi dunia.
Segala sesuatu ada saling hubunganya, krisis ekonomi Amerika kemudian menjadi krisis global yang berpengaruh pada sektor ril ditingkat lokal. Karena centrum kekuatan akumulasi modal kapitalis berada di negara ini, AS merupakan pasar eksport terbesar didunia termasuk pasar ekport Indonesia. Coba tengok angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh Departemen Perdagangan. Sekilas terlihat betapa produk Indonesia sangat bergantung pada pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke negara itu menduduki peringkat kedua terbesar setelah Jepang.
Ekspor nonmigas Indonesia ke AS meningkat dari 7,17 miliar dollar AS pada 2002 menjadi 10,68 miliar dollar AS pada 2006 atau meningkat 11,74 persen. Selama Januari-Agustus 2007, ekspor ke AS sudah mencapai US$ 7,48 miliar AS atau meningkat 5,14 persen dari periode yang sama 2006.
Itu artinya, peran ekspor ke AS terhadap total ekspor nonmigas Indonesia mencapai 12,45 persen, setingkat dibawah ekspor ke Jepang yang mencapai 15,36 persen.
Akibat orientasi eksport produk yang terlalu bertumpu pada pasar Amerika mengakibatkan hantaman telak bagi Indonesia karena daya beli komsumsi Amerika akan merosot akibat krisis finasial yang menerpanya. Bagi Indonesia, krisis ini akan memiliki dampak yang saling terkait diberbagai sektor. Pada akhirnya,semua ini akan memperlambat pertumbuhan.
Adapun dampak-dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia meliputi: Pertama, krisis global akan menyebabkan terganggunya stabilitas makro nasional. Ini dimulai dengan pertumbuhan yang melambat,karena permintaan produk dalam negri oleh pihak konsumen luar negeri yang menurun memaksa industri dalam negeri harus memangkas biaya produksi dimana cara yang paling mudah adalah dengan mengurangi tenaga kerja termasuk mem-phk buruh. Ini berkaitan erat dengan inflasi yang merayap terus naik, juga factor peningkatan suku bungga yang mengakibatkan mengikisnya pendapatan riil rumah tangga akibat besarnya biaya yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya bunga.
Kedua, dampak krisis global akan menohok secara langsung dan tidak langsung industri nasional. Bagi perusahaan yang bergerak disektor industri, kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi langsung berupa biaya penggunaan BBM. Selain itu,akan meningkatkan biaya harga komponen (raw materials) impor maupun lokal. Kenaikan ini juga otomatis akan meningkatkan ongkos transportasi dalam jalur distribusi.
Ketiga, peningkatan inflasi dan harga barang industri, serta kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan riil rumah tangga. Hal ini pada gilirannya akan dimanifestasikan dalam bentuk penurunan tingkat konsumsi dan investasi domestik, yang akan semakin menambah tekanan ke bawah pada tingkat pertumbuhan.

Hantaman Krisis Global Bagi Rakyat Khususnya Petani Sawit
Pemerintah Indonesia hari ini tidak mampu mengurus semua persoalan rakyat, karena watak rezim hari ini yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan pemodal. Ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang sangat pro modal. Sejak tahun 2000 sektor industri minyak sawit sangat diminati oleh pasar dunia karena kebutahan komsusmsi bahan pangan dan kosmetik selain itu alternative pengunaan bahan bakar nabati (biofuel) mendorong naiknya harga CPO dunia sehingga dianggap sanggat menguntungkan bagi devisa Negara melaui eksport CPO yang sangat mengiurkan, Devisa dari industri minyak sawit pada tahun 2006 menurut komisi minyak sawit Indonesia berada pada urutan nomor 2 pada eksport non migas sektor pertanian dengan nilai ekspor komoditas perkebunan 2007 mencapai US$ 12,3 miliar (Rp 115,6 triliun) atau naik 21,5 persen dibandingkan 2006 yang mencapai US$ 10,11 miliar (Rp 95 miliar). Angka ekspor itu telah melampaui target sejak Oktober 2007 yang mencapai US$ 11,25 miliar (Rp 105,7 triliun).
Melihat peluang tersebut kemudian pemerintah menargetkan pembukaan perkebunan sawit hingga 20 juta ha yang tersebar hampir disetiap propinsi di Indonesia. Pada tahun 2007 kebun yang sudah dibuka adalah 7,4 juta ha dan produksi CPO yang dihasilkan mencapai 17,5 juta ton menghantarkan Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit mengalahkan Malaysia. Ambisi tersebut harus dibayar dengan terjadinya konflik dimana-mana akibat keserakahan antar pemodal dan birokrasi dalam mencari keuntungan, konflik sosial terutama konflik tanah meningkat berbanding lurus dengan jumlah luasan pembukaan perkebunan. Lokasi ijin yang diberikan tidak memperhatikan daya dukung ekologi sehingga terjadinya konversi hutan besar-besaran, asap dan banjir sudah merupakan bencana yang sering ditemui hampir disetiap tahun. Pada Tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar, mengakibatkan kerawanan pangan dibeberapa daerah ditengarai pembukaan perkebunan sawit juga ikut andil dalam hal ini.
Disisi lain memang keuntungan dapat diperoleh karena semakin meningkatnya harga TBS (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani sawit disebabkan permintaan pasar yang besar. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2007 harga TBS melonjak tajam dari harga Rp 400-600/ kg mencapai hingga angka Rp 2000/ kg. Petani sawit ikut merasakan nikmatnya harga ini dan mendorong mereka untuk terlibat dalam perkebunan sawit, bahkan mereka berani untuk mengkonversikan kebun karet dan lahan pangan untuk dijadikan kebun sawit dengan dibantu oleh pemerintah melalui kredit perbankan yang sesunguhnya “keblinger” karena topangan mikro ekonomi yang lemah. Misalnya saja petani tidak diberikan penyuluhan soal keahlian budidaya tanaman sawit untuk meningkatkan produktivitasnya sehingga mereka cenderung menambah ekspansi lahan, justru sarana produksi terpangkas dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida yang sangat sulit didapatkan oleh petani, sementara untuk angkutan mereka berharap pada angkutan perusahaan padahal TBS harus diangkut sampai ke pabrik milik perusahaan 1 kali 24 jam, selebihnya harga akan menurun karena rendeman minyak sawitnya akan berkurang. Akibatnya petani sawit harus bergantung kepada perusahaan dan dijerat utang ditengah inflasi yang semakin meninggi. Hantaman telak terjadi ketika krisis yang terjadi di Amerika mempengaruhi seluruh perekonomian dunia yang mengakibatkan resesi dan pasti akan menghantam pasar eksport yang berbasikan komoditas dimana konsumen akan melakukan penundaan pembelian atau terpuruk karena daya belinya menurun akibat biaya produksi yang meninggi dikarenakan angka inflasi yang besar.
Dampak langsung ke petani sawit atas krisis ekonomi global ini mengakibatkan permintaan minyak sawit dunia menurun, sehingga industri minyak sawit di Indonesia harus dikurangi untuk mengimbangi suplay atas permintaan minyak sawit yang menurun. Disisi lain turunnya permintaan minyak sawit berakibat turunnya harga minyak sawit karena daya beli dan permintaan yang menurun, artinya perusahaan tidak mau membeli TBS dari petani untuk menjaga supply mereka cenderung lebih mengutamakan TBS yang berasal dari kebun inti mereka. Ini mengakibatkan harga TBS di tingkat petani langsung terjun bebas.
Korban yang paling dirugikan dalam hal ini tentunya adalah petani sawit itu sendiri, padahal klaim pemerintah dari total luasan kebun sawit 2,6 juta merupakan kebun rakyat yang mempekerjakan 4,5 juta KK petani sawit disektor ini. Setelah mereka bisa sedikit menikmati manisnya minyak sawit, hari ini mereka terpuruk pada level yang terendah dengan harga TBS untuk petani plasma pada bulan oktober dibawah Rp. 1060 / kg (kalbar) di Rp. 700 (kaltim) Rp.800 (Jambi) itu tergantung umur tanam sawitnya , sementara bagi petani swadaya yang tidak bisa dilindungi oleh aksi tengkulak sangat parah dimana harga TBS hanya berkisar pada harga Rp 400-600 / kg bahkan salah satu Kabupaten di Propinsi jambi TBS hanya dihargai Rp. 80/kg. padahal berdasarkan data harga eksport dari kantor pemasaran bersama (joint market office) PT. Perkebunan Nusantara harga komoditas eksport sawit update pada tgl 20 oktober 2008 untuk sawit lokal masih berkisar pada RP 4211/ kg sementara untuk sawit eksport Rp.490/ kg.
Sangat ironis dalam kondisi ini mereka tetap harus menanggung biaya kredit diperbankan dengan bungga yang ikut meningkat juga (plasma), sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada lagi tanah untuk menghasilkan akibat sudah dikonversi menjadi sawit sehingga harus membeli. Bagaimana mereka bisa bertahan ditengah inflasi yang sangat tinggi hari ini ?? akibatnya dijambi dilaporkan ada petani yang bunuh diri akibat tidak mampu menahan beban hidup, dilaporkan juga di Kabupaten Merangin banyak yang masuk rumah sakit jiwa akibat stres dan kebanyakan berasal dari petani kelapa sawit.
Ketidakmampuan Rezim Dalam Mengurus Kekayaan Alam Dan Ekonomi Rakyat
Fenomena tersebut sesungguhnya bisa diantisipasi apabila kemauan dan dedikasi yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat ada pada nurani pimpinan negeri ini. Platform ekonomi yang tidak bergantung pada eksport dan diarahkan untuk pemenuhan dalam negeri seharusnya menjadi tumpuan utama. Kondisi objektif Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam namun penduduknya miskin, itu diakibatkan sumber-sumber fital rakyat telah dikuasai oleh investor asing, semisal Freeport di papua, Exxon di aceh, Aqua, Newmont dll. Pemerintah selalu saja sesumbar dan berdalih dengan teori dan angka-angka statistik tanpa pernah melihat situasi ril yang terjadi pada rakyatnya semisal petani sawit yang bunuh diri dijambi akibat menurun harga TBS. Waktu krisis finansial terjadi di Amerika pada juli 2007 mulai menandakan terjadinya krisis global, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa fundamentalis ekonomi makro Indonesai masih kuat. Bank Indonesia justru mengatakan bahwa perlambatan perekonomian global yang ada di AS dan Eropa tidak serta merta akan menurunkan ekspor barang Indonesia. Kenyataan berbalik menjungkirbalikan semuanya, gejolak ekonomi global berdampak langsung kepada perekonomian di Indonesia karena jika ekonomi AS melemah, kinerja ekspor nasional akan terganggu, karena jika permintaan luar negeri berkurang, industri akan melakukan penyesuaian antara lain mengurangi produksi. Jika produksi dikurangi, tenaga kerja pun otomatis akan dikurangi dan akibatnya pengangguran akan meningkat dan angka kemiskinan melonjak karena kehilangan sumber produksi. Artinya, jika AS sakit, Indonesia terkena langsung getahnya, rakyatlah yang menderita termasuk petani sawit dalam sektor industri minyak sawit yang bergantung pada eksport.
Selain itu pasar finasial (saham) juga sangat terpengaruh oleh krisis keuangan Amerika, sebab perputaran uang dipasar finansial –baik saham maupun valas masih didominasai oleh aliran dana dari luar negeri, termasuk beberapa perusahaan industri minyak sawit yang masuk dalam pasar saham ini dalam Indeks Saham Gabungan (ISG). Pasar finansial merupakan dimana uang panas “hot maney” bercokol. Artinya uang dalam pasar finansial bisa tiba-tiba pergi dan bisa berdampak pada nilai tukar Rupiah. Bulan oktober 2008 nilai tukar Rupiah bahkan anjlok hingga angka Rp 11.700 terhadap mata uang dolar Amerika. Hal tersebut terjadi karena pasokan dollar dalam negeri menurun akibat meningkatnya permintaan terhadap dollar. Hal ini wajar karena kepercayaan terhadap mata uang dollar Amerika lebih besar dari pada mata uang Rupiah sehingga orang lebih cenderung menukar mata uang dollar dalam pasar finansial. Kondisi ini sangat ironis dengan pernyataan pemerintah bahwa kekuatan perekonomian Indonesia masih kuat tapi justru masyarakat tidak percaya terhadap Rupiah bahkan lebih percaya mata uang dollar Amerika yang lagi mengalami krisis. Apa yang sebenarnya terjadi ? Tidak lain tidak bukan karena uang tidak pernah mengenal nasionalisme, dimana menguntungkan disitu dia akan bertengger.
Disisi lain akibat melemahnya Rupiah, nilai kredit perbankan menjadi lebih tinggi dan berpengaruh langsung pada keuangan perusahaan dalam membayar kredit apalagi perusahaan yang bersandar pada bahan baku import yang harus dibeli dengan mata uang dollar. Akibatnya sector industri dalam negeri mengalami pukulan dan akan meningkatkan pengangguran karena biaya produksi meningkat dan akhirnya berujung pada kemiskinan, lagi-lagi rakyat yang menderita.
Ketika krisis semakin jauh mempengaruhi ekonomi Indonesia pemerintah kemudian panik dan membuat kebijakan yang tergesa-gesa tanpa antispasi sejak awal. Pemerintah SBY –JK kemudian membuat 10 langkah yang harus ditempuh untuk menghadapi krisis keuangan Amerika Serikat agar tidak memberikan pengaruh buruk terhadap perekonomian Indonesia yang terkesan euphoria ditengah inflasi yang sudah meninggi dan tingkat kepercayaan masyarakat yang lemah terhadap pemerintah dan nilai tukar Rupiah yang sudah mencapai angka Rp.11.000. Indonesia kemudian ikut-ikutan mengikuti paket kebijakan “bail out” Amerika yang sempat di tolak oleh DPR nya Amerika namun kemudian disetujui oleh kongres Amerika yang memuat tiga hal yaitu : pengucuran dan sebesar US $ 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan yang terkena masalah, menaikan jaminan simpanan di Bank sebesar US $ 100.000 menjadi US $ 250.000./orang dan membolehkan lembaga penjamin simpanan untuk meminjam dana talangan sebesar apapun kepada negara. Perpu nomor 4 tahun 2008 diterbitkan pemerintah untuk menjamin kesulitan likuiditas dan persoalan perbankan dalam menghadapi krisis juga dadakan diterbitkan. Perusahan milik Pemerintah kemudian diperintahkan untuk membeli kembali (buyback) saham-saham BUMN yang diparkir diluar negeri untuk menjaga krisis jatuhnya Rupiah, sangat ironis dengan gembar-gembor privatisasi BUMN yang sebelumnya digaungkan oleh pemerintah. Selain itu juga BI menaikan jaminan tabungan hingga mencapai 2 miliar rupiah tentunya bagi pemodal dan orang kaya, sementara petani sawit harus berusaha mencari penghasilan tambahan untuk melunasi cicilan kredit diperbankan.
Lagi –lagi rakyat miskin dikorbankan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Kenyataan dilapangan ditingkat rakyat kecil sama sekali tidak tersentuh dengan paket kebijakan ini malah memberi intensif bagi orang kaya situan kapitalis yang akan semakin menghisap darah buruh dan tani di negeri ini, termasuk petani sawit.
Sumber: Badan Persiapan Pembentukan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit
(BPPN- SPKS)waseng.wordpress.com

0 comments:

Post a Comment

 

ShoutMix chat widget

Followers

SEMUA ADA DISINI Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts